Jonh R.
Griffith dalam buku The Well Managed Community Hospital (1987)
menyebutkan bahwa dokter, pada zaman dahulu dikatakan mempunyai kekuatan
magis, mengharapkan kemandirian yang berlebihan serta menuntut tanggung
jawab moral yang tinggi. Perkembangan di abad dua puluh ternyata
memberi pandangan lain. Yang dahulu dikatakan kekuatan magis dokter,
kini digantikan dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi
ke dokteran. Yang dulu dikatakan dengan kemandirian seorang dokter,
kini dibagi dalam berbagai bahkan puluhan jenis spesialisasi yang
menguasai bidangnya masing-masing, yang artinya menuntut kerja secara
tim. Yang dulunya dikatakan sebagai tanggung jawab moral tinggi kini
banyak dicemari dengan isu malpra, komersialisasi, dan lain-lain.
Kendati demikian, hingga kini dokter tetap merupakan inti utama dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Buku ini bahkan mengatakan bahwa
karena latar belakang pendidikannya maka dokter adalah pimpinan klinik
dan keilmuan di rumah sakit. Untuk itu perlu dibina hubungan yang baik
dan serasi antara rumah sakit dan dokter, agar dapat memberikan
pelayanan yang optimal pada pasiennya.
Griffith (1987)
juga menyebutkan bahwa ada interdependensi antara rumah sakit dengan
dokter. Antara keduanya haruslah ada kerja sama yang menguntungkan kedua
belah pihak. Buku ini menggambarkan hubungan antara dokter dengan rumah
sakit dalam bentuk cojoin staff, suatu istilah yang diperkenalkan oleh
sosiolog W.R. Scott. Dalam konsep ini, hubungan akan terbina secara
intensif, di mana para dokter secara aktif berpartisipasi dalam berbagai
aspek manajemen di rumah sakit dan belajar mengerti sisi lain di rumah
sakit. Rachel Massie dalam buku Essential of Management (1987) antara
lain menyebutkan bahwa pelayanan di rumah sakit sangat dipengaruhi oleh
para profesional yang ada di dalamnya, tentu termasuk para dokter ini.
Para profesional biasanya cenderung sangat otonom dan berdiri sendiri
dan tidak jarang misi serta irama kerjanya tidak sejalan dengan
manajemen rumah sakit secara umumnya. Sukses kerja perseorangan sering
kali jadi acuan keberhasilan. Akibatnya, tidak jarang ada kesan bahwa
fungsi manajemen umum di rumah sakit dianggapnya kurang penting. Dalam
hal ini manajer rumah sakit harus mampu mengintegrasikan kemandirian
profesional medis ke dalam keseluruhan misi pelayanan rumah sakit sesuai
dengan visi yang telah ditetapkan.
Dalam paradigma
lama, peran dokter adalah paling dominan di rumah sakit. Dokter
cenderung otonom dan otokratik. Profesi lain di rumah sakit dianggap
hanya berfungsi membantu tugas para dokter. Pasienpun tidak hanya
haknya, dan cenderung menurut saja siapapun yang diputuskan dokter.
Dalam perkembangan para digma baru tentu halnya jadi dan telah berubah.
Dari sudut pasien saja, saat ini customer take charge. Konsumen dalam
hal ini pasien menentukan produk dan jasa yang mereka butuhkan, yang
harus dipenuhi oleh produsen, dalam hal ini rumah sakit dan dokternya.
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 telah secara tegas menyebutkan
"hak pasien" yang meliputi hak informasi, hak untuk memberikan
persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua.
Dalam undang-undang ini juga di sebutkan bahwa tenaga kesehatan termasuk
dokter tentunya dalam melakukan kewajibannya berkewajiban mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien. Suatu penilaian di Amerika
Serikat yang dikutip dari tulisan John Ross dalam buku Ambulatory care
Organization and Management menyebutkan tujuh keluhan pasien terhadap
dokternya di rumah sakit. Keluhan itu meliputi, tidak diberi cukup
waktu oleh dokter, biaya terlalu tinggi, keangkuhan dokter, tidak diberi
informasi lengkap tentang penyakitnya, tidak diberi informasi lengkap
tentang biaya, waktu menunggu terlalu lama serta tidak adanya kerja sama
antara dokter pribadi dan spesialis yang dikonsul.
Timbulnya
paradigma baru ini, yang disertai dengan kemajuan teknologi dan
globalisasi akan memaksa rumah sakit dan dokter mendefinisikan kembali
hubungan kerja antara keduanya. Rumah sakit perlu menangani dokter
sebagai salah satu jenis pelanggan mereka dengan berbagai harapan yang
ingin dipenuhinya. Dalam buku Strstegic Healthcare Management (1995) di
sebutkan bahwa di Amerika Serikat ada kecenderungan para dokter untuk
membawa pasiennya keluar rumah sakit dan tangani sebagai pasien berobat
jalan di tempat prakteknya saja. Hal ini tentu akan merugikan rumah
sakit yang akan kebagian pasien yang betul-betul gawat. Buku ini juga
mengungkapkan bahwa rumah sakit perlu memasarkan dirinya pada para
dokter karena merekalah yang membawa pasien untuk dirawat di rumah
sakit.
Ingerani dalam
makalahnya pada Kongres PERSI VII 1996 menyatakan bahwa dalam hal
membina hubungan antara rumah sakit dan dokter. pihak pengelola rumah
sakit perlu memperhatikan beberapa hal. Pengelola perlu mengetahui
kebutuhan dokternya, perlu mendukung dokter yang berminat dan mampu
memberi masukan berguna, turut menjaga integritas dokter dan mampu
memenuhi kebutuhan dokter-dokternya serta melibatkan mereka dalam
pembuatan keputusan tanpa mengurangi otonomi pimpinan rumah sakit.
Dikutip pula penelitian dari Goldberg dan Martin yang menyatakan bahwa
dokter pada umumnya ingin bekerja pada rumah sakit yang bermutu, ingin
turut berperan dalam pengaturan rumah sakit, mengharapkan berbagai
dukungan dari rumah sakit serta tidak ingin bersaing secara langsung
dengan rumah sakit dalam prakteknya. Sementara itu, dalam Kode Etik
Rumah Sakit Indonesia yang dikeluarkan oleh PERSI tahun 1993 disebutkan
bahwa pihak rumah sakit punya kewajiban untuk mengadakan seleksi tenaga
dokter, mengadakan koordinasi serta hubungan yang baik antar seluruh
tenaga di rumah sakit, mengawasi agar segala sesuatunya dilakukan
berdasar standar profesi dan berlaku adil tanpa pilih kasih.
Dokter juga
punya peran penting dalam mendukung manajemen mutu dan biaya di rumah
sakit. Samsi Yacobalis dalam Kongres PERSI VI 1993 menyatakan bahwa
dokter berperan strategis dalam memanfaatkan dana rumah sakit.
Sayangnya, para dokter umumnya kurang mendukung upaya penghematan (cost
containment), dokter umumnya tidak "sadar biaya". Banyak yang masih
menganut prinsip treatment at any cost dan menganggap pembatasan biaya
adalah pembatasan terhadap otonomi profesinya. Untuk ini diperlukan
perubahan sikap dan perilaku para dokter agar mereka mau memahami upaya
efisiensi biaya tentunya memperhatikan keseimbangan antara mutu
pelayanan dan biaya dengan menjelaskan tujuan akhirnya dari proses
tersebut. Tulisan Tjandra & Yudanarso tentang "Mutu Pelayanan di
Rumah Sakit" (1996) juga menyebutkan kenyataan bahwa para profesional
termasuk dokter tentunya terkadang tidak begitu memperhatikan dampak
finansial dari keputusan klinik yang di ambilnya. Pokoknya, kalau dari
sudut profesi hal itu harus ada maka pihak manajemen harus
mengadakannya, tanpa memperhitungkan aspek cost-benefit-nya
Buku The Great
Reckoning (1993) menjelaskan bahwa tingginya biaya kesehatan di Amerika
Serikat menunjukan suatu inefisiensi. Pengobatan kanker di Amerika
Serikat biayanya 300.000 dolar seminggu, sementara pengobatan serupa di
Meksiko hanya 15.000 dolar, dan di Cina bahkan 2000 dolar. Biaya dokter
dan rumah sakit di Amerika per kapita ternyata tiga kali lebih tinggi
daripada di Inggris. Rachael Massie dalam buku Essential of Management
(1987) menjelaskan bahwa dalam sistem asuransi Medicare dengan DRG-nya
di Amerika Serikat, rumah sakit tidak hanya bergantung pada dokter untuk
memasukkan pasien ke rumah sakitnya, tetapi tagihan asuransi juga baru
bisa direalisasi bila si dokter bekerja dan mengisi formulir yang
diperlukan dengan akurat. Jadi di satu pihak para manajer rumah sakit
perlu menyenangkan dokternya agar mau memasukan pasien, dan di pihak
lain sang manajer harus pula mengontrol dengan ketat perilaku dokter
tersebut. Sulitnya telah disebutkan terdahulu, dokter biasanya cenderung
otonom dan sering kali menolak untuk dikontrol secara ketat.
Sumber : Buku Manajemen Administrasi Rumah Sakit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar